KEYNOTE SPEECH

Memahami Wajah Demokrasi Indonesia Kontemporer

PROF. DR. ROBERTUS ROBET

Pendahuluan

Demokrasi Indonesia berada pada sebuah titik historis yang kompleks—bukan runtuh, tetapi tidak sehat; bukan otoriter penuh, tetapi semakin iliberal; bukan gagal, tetapi kelelahan. Dua dekade setelah euforia Reformasi mereda, wajah demokrasi hari ini tampak seperti pantulan cermin yang retak: kita masih melihat bentuknya, tetapi garis-garis kerusakan membuatnya sulit dikenali.

Berbagai indikator internasional menunjukkan penurunan, tetapi indikator saja tidak pernah cukup untuk menangkap denyut demokrasi Indonesia yang selalu berada dalam negosiasi antara kekuasaan, kepentingan, dan imajinasi kolektif mengenai bangsa.

Untuk memahami fenomena kontemporer ini, saya melihat setidaknya ada lima kecendrungan analisis yang dapat kita gunakan untuk membaca politik Indonesia: pertama adalah tesis tentang rendahnya komitmen elit terhadap demokrasi; kedua, peran kompetisi antar-elit sebagai faktor yang, secara ironi, justru mencegah negara jatuh ke otoritarianisme penuh; kategori “competitive authoritarian” yang tampak semakin relevan; dan krisis kehidupan kepartaian yang kini mencapai titik paling rapuh sejak Reformasi. Namun variabel kelima—yang justru paling mendefinisikan era pemerintahan Prabowo–Gibran—adalah model ekonomi nasionalistis-populis yang memperkuat negara, menata ulang hubungan negara dan oligarki, dan menciptakan dinamika politik baru yang langsung berpengaruh terhadap nasib demokrasi. Dengan lima variabel itu, pada bagian akhir kita akan melihat juga nantinya bagaimana prospek masyarakat sipil Indonesia dalam mempertahankan ruang demokrasi.

A. Komitmen Elit Yang Lemah Terhadap Demokrasi

Marcus Mietzner dan Edward Aspinall telah lama menjadi salah satu pembaca paling produktif mengenai dinamika politik Indonesia. Dala salah satu artikelnya, mereka menulis dengan kesadaran bahwa demokrasi tidak akan runtuh hanya karena rakyat berubah pikiran; demokrasi runtuh ketika elit berhenti peduli. Dan inilah tesis kunci mereka: sebagian besar elit Indonesia tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap demokrasi.

Keduanya tidak pernah menuduh semua elit anti-demokrasi. Yang ia soroti adalah pola perilaku: dalam situasi tertentu, elit bersedia menggunakan instrumen iliberal selama hal itu meningkatkan peluang mereka untuk mempertahankan atau memperluas kekuasaan. Demokrasi menjadi "alat", bukan "nilai". Bila aturan demokrasi menghambat kepentingan, aturan itu akan dinegosiasikan, dimanipulasi, atau dicari celahnya.

Contoh paling jelas adalah bagaimana koalisi politik dibangun dan dibongkar: bukan melalui perbedaan ideologi, melainkan melalui kalkulasi akses terhadap sumber daya negara. Begitu pula dalam kontrol atas lembaga-lembaga pengawas. Ketika lembaga independen dianggap terlalu kuat dalam mengawasi elite, tekanan untuk melemahkannya hampir selalu datang dari arena politik.

Rendahnya komitmen terhadap demokrasi ini menciptakan kondisi yang memungkinkan proses iliberalisasi merayap masuk, tidak melalui kudeta, tetapi melalui pengikisan perlahan-lahan terhadap norma demokrasi.

 

B. Kompetisi Elit: Penahan Autokratisasi atau Sumber Problem Baru?

Menariknya, di waktu yang lain, dalam artikel yang lebih baru Mietzner berpendapat berbeda: meski komitmen elit lemah, Indonesia tidak akan menjadi otoriter karena kompetisi antar-elit terlalu kuat. Elite Indonesia tidak homogen. Oligarki yang menguasai politik tidak tunggal; mereka adalah kelompok-kelompok bisnis dan kekuasaan yang kadang bekerja sama, tetapi sering juga bersaing keras. Desentralisasi pasca-Reformasi juga membuat daerah memiliki pusat kekuatan sendiri.

Argumen ini tampak benar pada permukaan: tidak ada satu elit pun yang cukup kuat untuk menguasai semua institusi sekaligus. Presiden masih membutuhkan parlemen, parlemen membutuhkan koalisi, koalisi membutuhkan dana dan patron, sementara daerah memiliki otonomi yang tak mudah dibongkar.

Tetapi kompetisi elit bukanlah obat bagi demokrasi yang rusak. Dalam praktik Indonesia, kompetisi elit seringkali terjadi bukan pada arena kebijakan, tetapi arena patronase. Kompetisi yang tidak sehat justru mendorong para aktor menggunakan instrumen negara untuk menekan pesaing. Alih-alih memperkuat demokrasi, kompetisi ini menciptakan "perang dingin" antar faksi kekuasaan yang menggunakan hukum, ekonomi, dan birokrasi sebagai senjata politik.

Inilah paradoks Indonesia: kompetisi elit mencegah otoritarianisme total, tetapi sekaligus memperbesar potensi penyalahgunaan kekuasaan.

3. Diambang Competitive Authoritarianism: Indonesia Bergerak ke Mana?

Kategori “competitive authoritarian” adalah istilah analitis untuk rezim yang mempertahankan institusi demokrasi tetapi memanipulasinya untuk memastikan hasil politik tertentu.  Steven Levitsky dan Lucan A. Way mendefinisikannya sebagai rezim yang mengkombinasikan pemilihan umum yang kompetitif dengan  tekanan serius terhadap pelbagai prosedur demokrasi. Para ahli menyebut tipe rezim ini muncul pasca perang dingin dengan Rusia sebagai contoh. (Levitsky dan Way, 2010) Indonesia tidak sepenuhnya cocok dengan tipe ini, tetapi kecocokannya semakin meningkat.

Ada beberapa tanda yang memperlihatkan Indonesia tengah bergerak ke arah itu misalnya:

1. pemilu tetap berlangsung, tetapi sumber daya negara digunakan secara tidak seimbang,

2. oposisi tetap ada, tetapi aksesnya sangat dibatasi oleh hambatan administratif,

3. protes tetap hidup, tetapi tekanan hukum membuat mereka berhitung lebih hati-hati,

4. hukum tetap bekerja, tetapi selektivitas penegakan menggerus kepercayaan publik.

Namun demikian Indonesia juga memiliki elemen yang membuatnya tidak sepenuhnya jatuh ke dalam tipe otoriter: masyarakat sipil relatif kuat sekalipun jatuh bangun, kampus masih bersuara (meski tertekan), dan desentralisasi menciptakan ruang-ruang resistensi lokal, ingat peristiwa Pati. Inilah mengapa kita dapat menyebut Indonesia masih demokrasi—tetapi demokrasi yang secara konsisten dan perlahan terus melemah.

Diagnosis paling akurat mungkin adalah ini: Indonesia adalah demokrasi yang hidup, tetapi tidak sehat; demokrasi yang berjalan, tetapi pincang; demokrasi yang formalnya utuh tetapi substansinya menurun.

 

D. Partai: Mesin Demokrasi yang Berkarat

Partai politik adalah fondasi demokrasi modern. Tetapi di Indonesia, partai politik berada dalam kondisi paling buruk sejak Reformasi. Ada empat masalah utama:

Pertama, personalisasi ekstrem: partai tidak lagi menjadi sarana gagasan, tetapi menjadi kendaraan politik tokoh. Ketika tokoh pergi, suara partai turun signifikan. Ini menunjukkan kerapuhan kelembagaan. Kita tau pasca Orde Baru, di Indonesia memang muncul tipe baru partai politik yakni partai tokoh Bersama-sama dengan partai akar. Apabila partai tokoh hadir semata sebagai mesin untuk mendukung seorang tokoh maju pemilu, partai akar adalah partai yang memiliki basis dan tradisi Panjang. Sayangnya perkembangan belakangan ini memperlihatkan bahkan partai akarpun  semakin bergeser menjadi partai tokoh. Pengalaman kartel dan kultur politik paternalistic sedikit banyak mempengaruhi pergeseran ini.

Kedua, oligarkisasi: pendanaan politik yang mahal membuat partai bergantung pada segelintir penyandang dana besar. Elite bisnis masuk ke struktur partai bukan sebagai politisi, tetapi sebagai investor.

Ketiga, fragmentasi: terlalu banyak partai tetapi tanpa diferensiasi ideologis. Fragmentasi bukan tanda pluralisme, tetapi tanda lemahnya fondasi politik kebijakan.

Keempat, clientelism: politik uang adalah norma, bukan pengecualian. Pemilu Indonesia adalah salah satu yang paling mahal di dunia. Akibatnya, kandidat yang menang seringkali adalah kandidat yang paling mampu membeli akses dan suara, bukan yang paling kompeten.

Semua faktor ini menurunkan kualitas demokrasi dari akar terdalamnya—representasi politik.

E. Ekonomi Nasionalis-Populis

Masuklah variabel terpenting yang jarang dianalisis secara komprehensif: model ekonomi Prabowo. Pemerintahan ini menampilkan wajah ekonomi politik baru yang berbeda dari era Jokowi, meskipun mempertahankan beberapa kesinambungan.

Ada tiga ciri utama kebijakan ekonomi kini:

1.     Peran Negara yang menguat.

2.     Nasionalisme ekonomi sebagai wacana utama

3.     Populisme kesejahteraan.


Model ini menciptakan “ekonomi negara yang dominan”, atau state-led developmental populism. Pemerintah memperbesar peran BUMN, mempercepat industrialisasi berbasis negara, dan menghadirkan proyek-proyek besar sebagai simbol visi nasional.

Program-program populis—dari pangan hingga koperasi dan pendidikan—memperkuat legitimasi pemerintah, menciptakan hubungan langsung antara penguasa dan rakyat, seringkali melewati institusi formal seperti DPR atau partai. Inilah model negara yang percaya diri, kuat, dan ekspansif. Tetapi, apa dampaknya bagi demokrasi?

 Pertama, Negara Kuat, Demokrasi Lemah: Ketegangan Baru dalam Ekonomi Politik.

Ada anggapan bahwa negara kuat otomatis baik. Tetapi kekuatan negara tanpa pengawasan dapat menciptakan arena iliberal baru. Model ekonomi nasionalistis-populis memang akan memperkuat negara dalam tiga cara yakni: pertama, negara menjadi sistributor utama sumber daya; kedua, negara menjadi pemegang kendali atas agenda pembangunan nasional; ketiga negara menjadi penentu arah oligarki; Siapa yang mendapat rejeki proyek pembangunan, Siapa yang tersisih.

Konsekuensinya, potensi patronase meningkat secara signifikan, makin banyak aktor bisnis yang wajib memiliki kedekatan dan loyalitas politik, kritik terhadap proyek negara dengan mudah dicap anti pembangunan nasional dan anasionalis. Model ekonomi seperti ini memberi legitimasi kepada pemerintah, tetapi juga memberi kesempatan lebih besar untuk menyempitkan ruang deliberasi publik.

 

Kedua, Persimpangan Oligarki lama vs Oligarki Baru

Era Jokowi adalah era konsolidasi oligarki bisnis. Era Prabowo memperlihatkan munculnya model baru: oligarki negara. Dalam model ini, kekuasaan tidak lagi terpusat pada konglomerat lama semata, tetapi juga pada aktor-aktor yang dekat dengan kekuasaan politik dan mengakses BUMN sebagai kendaraan ekonomi dan mendapatkan akses langsung dari negara. Dinamika ini menghasilkan friksi baru: beberapa oligark lama kehilangan pengaruh, muncul aktor politik baru yang menguasai akses negara dalam ekonomi =, negara dapat mengganti pemain di sektor-sektor strategis.

Secara teori, pergeseran oligarki dapat membuka peluang demokratisasi jika negara mengatur pasar secara adil. Tetapi tanpa transparansi dan akuntabilitas, negara justru dapat menciptakan oligarki baru yang lebih terkoordinasi dan lebih sulit dilawan.

Dengan kata lain: demokrasi tidak otomatis pulih ketika oligarki lama melemah, karena oligarki baru dapat muncul melalui negara yang kuat.

 

Ketiga,  Populisme Ekonomi dan Konsekuensinya bagi Demokrasi

Populisme ekonomi memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, terutama kelas bawah. Tetapi populisme ekonomi juga membawa efek politik:

Pertama, ia menciptakan legitimasi langsung bagi penguasa. 

Kedua, ia melemahkan peran partai politik sebagai mediator. 

Ketiga, ia menggeser orientasi politik dari deliberasi menuju efisiensi.

Ketika pemimpin berkata “lihat hasilnya”, ruang untuk kritik menjadi sempit. Kebijakan dipresentasikan sebagai “kepentingan nasional”, bukan sebagai keputusan yang harus diperdebatkan.

Populisme ekonomi yang tidak diimbangi oleh institusi kuat dapat menjadi jalan menuju personalisasi kekuasaan—di mana rakyat mendukung pemimpin bukan karena aturan yang adil, tetapi karena karisma dan program populernya.

 

F. Kesimpulan Sementara

Ketika seluruh variabel ini disatukan, kita melihat wajah demokrasi Indonesia dalam bentuk yang kompleks:

Pertama, demokrasi masih ada, tetapi kualitasnya menurun.   Kedua, institusi masih berjalan, tetapi fungsinya melemah.   Ketiga, kompetisi elit mencegah otoritarianisme total, tetapi menciptakan politik yang korosif.   Keempat,  populisme ekonomi memperluas legitimasi pemerintah tetapi menekan ruang deliberative.   Kelima, negara kuat muncul bukan sebagai penyeimbang oligarki, tetapi sebagai produsen oligarki baru.

Dengan semua ini, Indonesia hari ini bukanlah negsra otoriter, tetapi juga bukan demokrasi yang aman. Kita berada dalam suatu bentuk hibrida: demokrasi berbungkus populisme negara, demokrasi formal dengan praktik iliberal, demokrasi yang hidup tetapi tersandera oleh struktur kekuasaan lama.

Masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada bagaimana negara mengelola kekuatan barunya. Negara yang kuat dapat menjadi mesin kesejahteraan yang adil, tetapi juga dapat menjadi alat konsentrasi kekuasaan. Tantangannya adalah membangun institusi pengawasan yang kuat agar peran negara yang besar tidak berubah menjadi alat dominasi politik.