URGENSI DAN RELEVANSI TRANSFORMASI GPI

PDT. RUDY RAHABEAT

Ada sebuah kebutuhan mendesak (urgensif) untuk melakukan transformasi subtantif terhadap eksistensi Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Hal ini guna merespons dinamika perubahan pada aras lokal, nasional dan global. Lebih daripada itu, agar gereja-gereja anggota GPI makin fungsional dan relevan di tengah zaman yang kian disruptif. Selalu ada harapan yang perlu terus dirawat dalam iman yang menyala dan kasih yang total kepada Kristus Sang kepala gereja GPI.

Pentingnya Kesadaran Sejarah Pascakolonial

Gereja Protestan di Indonesia (GPI) merupakan wadah berhimpun gereja-gereja yang mewarisi sejarah Indische Kerk. Ini tentu bukan sebuah rajutan kisah kolonisasi baru di era kemerdekaan. Kesadaran dekolonial muncul sejak orang-orang Kristen pribumi tercerahkan dan menyatakan diri mandiri dari gereja negara (Indische Kerk). Diawali oleh Gereja Masehi Injili di Minahasa (tahun 1934), lalu Gereja Protestan Maluku (1935) dan disusul Gereja Bagian Mandiri (GBM) lainnya, yang berjumlah 12 GBM.

Gereja Protestan di Indonesia (disingkat GPI) atau Protestant Church in Indonesia (PCI) adalah bekas Gereja Negara Hindia Belanda yang pada waktu itu bernama de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie atau Indische Kerk, menjadi Gereja Protestan tertua di Asia. GPI mewarisi jemaat-jemaat yang ditinggalkan oleh misi Portugis, Spanyol dan Belanda yang dikemudian hari karena pekerjaan misi maka pelayanannya semakin meluas sehingga jemaat-jemaat Indische Kerk dimandirikan menjadi Gereja Bagian Mandiri (GBM). GPI telah memekarkan diri dalam beberapa gereja bagian, akan tetapi gereja-gereja itu harus tetap memelihara keesaannya dalam persekutuan penuh.  Pada Selasa, 27 Februari 1605 di Benteng Victoria Ambon dilaksanakan ibadah pertama de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie yang kemudian dipandang sebagai awal dari adanya gerakan Protestan di Indonesia bahkan di Asia, mendahului gerakan Protestan di Amerika Utara (1607). Momentum historis inilah yang dijadikan hari berdirinya de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie (Indische Kerk), yang kemudian di Indonesiakan menjadi Gereja Protestan di Indonesia (GPI)  (Wikipedia).

Tentu saja warisan sejarah kolonial tak mudah dihapuskan walau ada niat yang kuat untuk menjadi gereja Indonesia yang kontekstual. Hal ini bukan sekedar menyatakan mandiri secara organisasi dan kepemimpinan melainkan sebuah ikatan mentalitas historis yang mendarah daging dalam pikiran dan praktik gereja-gereja anggota GPI. Hal ini tentu tidak perlu disesali atau ditangisi. Itu bagian dari sejarah yang patut diterima dan diapresiasi serta ditransformasi dalam terang Injil Kristus. Pada sisi lain, perlu membangun kesadaran kritis terhadap warisan-warisan kolonial di masa lalu. Sebagai gereja-gereja yang mandiri, GBM perlu terus mencermati berbagai warisan dimaksud baik pada tataran dogmatika, teologi, eklesiologi, liturgi dan tradisi-tradisi bergereja. Sebuah pendekatan pascakolonial menjadi penting untuk digunakan dalam kaitan ini. Tujuannya agar gereja-gereja di Indonesia makin peka terhadap dimensi-dimensi kolonial yang perlu ditinggalkan dan peka terhadap warisan sejarah pribumi yang berakar pada budaya dan tradisi Nusantara. Ini tentu memerlukan sebuah kajian yang komprehensif. Saya yakin sudah ada upaya-upaya ke arah dimaksud. Hanya saja, perlu sebuah evaluasi bersama dan menyeluruh dalam bingkai eklesiologi dan teologi pascakolonial atau dekolonial.

Ujilah Segala Sesuatu: Sebuah Discernment Teologis Pascakolonial

Tema Ujilah Segala Sesuatu dan Peganglah Yang baik (I Tesalonika 5:22) merupakan sebuah tema yang sangat menarik dan mendasar. Ada sebuah ajakan dan tekad yang sangat kuat untuk tidak menerima begitu saja apa yang ada. Tidak menelan mentah-mentah apa yang kelihatan dan tidak kelihatan. Tidak terbuai dengan berbagai godaan dan sajian yang kelihatannya manis tetapi bisa saja mengandung racun. Sebuah panggilan untuk tetap kritis dan profetik.

Ujilah segala sesuatu mesti dilalui dengan sebuah laku discernment secara sungguh-sungguh. Discernment artinya adalah kemampuan untuk membedakan, mengenali, dan memahami sesuatu dengan jelas, terutama dalam konteks spiritual atau keputusan penting. Kata ini berasal dari bahasa Latin discernere yang berarti "memahami" atau "membedakan". Dalam konteks agama, discernment sering merujuk pada proses mengenali kehendak Tuhan dalam hidup seseorang (Wikipedia.id). Bertolak dari pengertian yang sederhana ini dan mengaitkannya dengan tema ujilah segala sesuatu, maka proses ini harus dilakukan dengan serius, tidak bisa hanya sambil lalu. Diperlukan sebuah komitmen, konsistensi dan persistensi diri dan persekutuan yang sungguh-sungguh sambil terus mengandalkan Roh Kudus. Discernment sangat berkaitan erat dengan karya Roh Kudus. Dengannya tersingkap misteri kasih Allah bagi manusia dan dunia.

Di tengah perubahan yang sangat kompleks saat ini, yang digambarkan dengan sangat gamblang dalam dokumen Arah Teologis dan Strategis GPI di Era Disrupsi (Sinodegpi.id) proses discernment menjadi sangat relevan dan perlu. Seluruh umat dan pelayan perlu melakukan olah batin, kontemplasi dan meditasi membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang pantas dan tidak pantas. Di era post-truth saat ini kadang yang salah bisa dianggap benar, dan benar bisa dianggap salah. Berita-berita hoaks, pseudo-ilmiah dan rupa-rupa manipulasi yang sangat sistematis jika tidak ditakar dan dinalar dan diuji dengan benar maka dapat saja diterima sebagai kebenaran baru yang menyesatkan dan mematikan. Olehnya, sekali lagi sangat dibutuhkan discernment, pembedaan roh.

Peganglah Yang Baik: Sebuah Agenda Holistik Transformatif

Kepemimpinan GPI yang baru yang diketuai Pdt Dr Ebenhaizer Nubantimo (mantan Ketua Sinode GMIT dan dosen teologi) dan sekretaris Pdt Hendrik Lokra, M.Si (mantan Direktur KP PGI, pendeta GPM) menjadi momentum baru untuk terus menggerakan GPI dalam agenda transformasi yang berkelanjutan. Setiap momen harus dimanfaatkan menjadi monumen yang hidup, menggairahkan dan menggerahakan perubahan ke arah kepenuhan Kristus (Pleroma). Momentum itu jangan dibiarkan berlalu begitu saja, atau diisi sekenanya. Ia merupakan momen anugerah untuk memproklamirkan kepada dunia tentang gereja sebagai komunitas harapan. Olehnya, gereja perlu terus menjalani pembaruan budi secara terus menerus (Roma 12).

Semangat baru yang dihidupkan oleh pengurus GPI yang baru yang ditopang oleh segenap potensi warga GPI mesti terus digelorakan. Momen sidang majelis sinode am GPI menjadi forum koinonia yang meramu dan menyatukan segenap talenta dan energi dari 12 GPM demi bersama-sama merencanakan pengembangan GPI dalam implementasi visi dan misinya secara terukur dan berkelanjutan. Keunikan dan kekayaan gereja-gereja anggota GPI merupakan potensi yang jika dikelola dengan optimal maka akan memberi dampak yang besar bagi anggotanya bahkan menjadi kekuatan transformasi bangsa.

Sub tema, Ketahanan Sosial Gereja di Era Disrupsi: Menyelaraskan Nilai Kebenaran dan Respons Adaptif Terhadap Dinamika Ekonomi dan Teknologi" secara jitu mengisi ruang kosong yang terbuka dari enam polikrisis yang dipetakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (GPM). Krisis ekonomi merupakan realitas sosial yang tak terbantahkan saat ini. Krisis ini berkaitan dengan dominasi oligarkhi dan ekonomi kapitalis pada satu sisi, dan pada sisi lain ekonomi kerakyatan makin sulit untuk bangkit. Fundementalisme ekonomi masih dikuasai oleh segelintir orang dan jurang antara yang kaya dan miskin semakin lebar. Terhadap hal ini gereja-gereja (baca: GPI) mesti memberi respons yang cerdas dan komprehensif.

Agenda pemetaan dan klusterisasi ekonomi 12 anggota GPI perlu dilakukan dengan baik. Data-data yang valid terkait peta potensi gereja-gereja dan peta kerentanan ekonomi mesti tersedia dengan andal. Demikian pula praktek-praktek pengembangan ekonomi jemaat yang sudah dan sedang dilakukan oleh sinode-sinode dapat saling memperkaya. Sebagai contoh, Gereja Protestan Maluku (GPM) sejak tahun 2021 menginisiasi Gerakan Keluarga Menanam, Melaut dan Memasarkan serta Beternak. Hal ini merupakan visi dan misi untuk membangun fundamental ekonomi gereja berbasis ekonomi keluarga. Proses ini sedang berlangsung dan terus dievaluasi untuk ditingkatkan skala dan capaiannya. Praktek serupa dapat dicermati oleh angggota GBM lainnya. Dengan saling belajar antar Sinode maka terbuka ruang untuk kolaborasi dan optimalisasi program-program pemberdayaan ekonomi jemaat-jemaat.

Perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh konteks sosiologis-antropologis dan geo-strategis gereja-gereja anggota GPI baik dalam lingkup masyarakat perdesaan, masyarakat pesisir, masyarakat industri, masyarakat perkotaan, juga masyarakat adat. Gereja-gereja di Sulawesi yakni GMIM, GPID, GPIBT, GPIG, GKLB, GPIBK, Germita. Gereja di kepulauan Maluku (Maluku dan Maluku Utara) GPM, gereja di Timor, GMIT, gereja di tanah Papua, GPI Papua, serta GPIB yang memiliki jemaat-jemaat pada lingkup nasional, serta Indonesian Evangelical Christian Church (IECC) berciri global.

Semua harapan dan ikhtiar transformasi GPI ini bukanlah sebuah abstraksi imajinatif semata. Ia mesti bermuara pada langkah-langkah konkrit menjawab berbagai krisis yang sedang melanda gereja-gereja, bangsa dan dunia. Krisis dan bencana ekologis yang sedang melanda sesama warga bangsa di Sumatera (Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Utara) memanggil gereja-gereja untuk melakukan gerakan solidaritas sosial untuk menolong para korban. Demikian pula langkah-langkah advokasi untuk menyelamatkan bumi dari ancaman kiamat ekologis. Ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil dan hilangnya komunitas masyarakat adat akibat ekspansi industri ekstraktif seperti tambang dan kelapa sawit perlu direspons dengan strategis. Misi gereja-gereja di bidang pendidikan yang sejak zaman pra kemerdekaan telah digerakan oleh gereja-gereja saat ini sedang diperhadapkan dengan tantangan yang serius. Demikian pula keberadaan generasi muda khususnya generasi Z di tengah kolonisasi Artificial Intelligence (AI) yang berdampak pada kesehatan mental (mental health) dan ancaman pengangguran serta krisis moral. Semua ini menjadi agenda transformasi GPI untuk menjadi berkat bagi gereja, bangsa dan dunia berbasis pada Firman Allah, Iman dan Anugerah (Sola Scriptura, Sola Fide dan Sola Gracia). Selamat bersidang Majelis Sinode Am GPI 2025. Tuhan Yesus menyertai. Soli Deo Gloria. (RR).

Oleh: Pdt. Dr Rudy Rahabeat



in Reis
Oikoumene Persahabatan: Mengubah Persekutuan Gereja yang Kering Menjadi Hidup
Tulisan dalam rangka SSA GPI XX 2025 di Talaud, Sulut