Apa itu Integrative Synthesis Framework (ISF)?
Secara sederhana, Integrative Synthesis Framework (ISF) adalah metode berpikir dan perencanaan strategis untuk menyelesaikan masalah yang tampaknya "bertentangan" atau "tidak bisa didamaikan".
Kebanyakan orang menggunakan pemikiran "ATAU" (pilih A atau B).
- Contoh: Kita harus memilih antara Tradisi ATAU Modernisasi.
ISF menggunakan pemikiran "DAN" untuk menciptakan solusi baru yang lebih unggul dari keduanya (Tesis + Antitesis = Sintesis).
- Contoh: Bagaimana kita bisa memegang teguh Tradisi DAN melakukan Modernisasi secara radikal pada saat bersamaan?
Dalam dunia Fortune 100, ini bukan tentang kompromi (mengambil sedikit dari A dan sedikit dari B sehingga keduanya lemah), melainkan Inovasi (menciptakan model C yang mengandung keunggulan A dan B tanpa kelemahannya).
Metodologi: 4 Langkah Proses Sintesis
Untuk menerapkan ini, kita tidak sekadar "rapat dan diskusi". Ada 4 tahapan analitis yang ketat:
- Artikulasi Ketegangan (Salience): Identifikasi dua kutub yang bertentangan. Apa hal yang paling kita perjuangkan di Kutub A? Dan apa yang diperjuangkan di Kutub B?
- Pemeriksaan Model (Causality): Mengapa Kutub A berhasil? Mengapa Kutub B berhasil? Jangan dulu mencari jalan tengah, tapi pahami "kebenaran" dari masing-masing sisi secara mendalam.
- Arsitektur Keputusan (Architecture): Bagaimana jika kita menggabungkan mekanisme dari A dengan semangat dari B?
- Resolusi (Synthesis): Lahirnya model baru.
Contoh 1: Konteks Gereja Nasional / Global
Isu: Penurunan jumlah jemaat muda vs. Identitas Denominasi.
- Tesis (Model A - Tradisional): Pertahankan liturgi kaku, himne lama, dan struktur organisasi hierarkis.
- Kelebihan: Identitas kuat, teologi stabil, rasa sakral.
- Kelemahan: Tidak relevan bagi Gen-Z, membosankan bagi orang luar.
- Antitesis (Model B - Populis/Modern): Ubah gereja menjadi seperti konser, hapus liturgi, khotbah pendek.
- Kelebihan: Menarik massa, relevan, energik.
- Kelemahan: Kehilangan akar teologi, jemaat menjadi "konsumen" bukan murid.
Solusi Integrative Synthesis: "Ancient-Future Faith" (Iman Purba-Masa Depan) Bukan sekadar mencampur lagu lama dengan musik band (kompromi), tetapi membangun model "Liturgi Naratif Digital".
- Implementasi: Gereja mempertahankan struktur liturgi kuno (pengakuan dosa, berita anugerah) namun dikemas dalam format visual/digital yang immersive (seperti storytelling film).
- Hasil: Kaum muda merasa relevan karena formatnya (modern), namun merasa "berakar" karena isinya (kuno/tradisional). Ini menciptakan kedalaman spiritual yang tidak dimiliki model populis, dan relevansi yang tidak dimiliki model tradisional.
Contoh 2: Konteks Sinode Am GPI dan Sinode GBM
Ini adalah analisis mendalam khusus untuk Gereja Protestan di Indonesia (GPI) sebagai "Induk" (Sinode Am) dan Gereja Bagian Mandiri (GBM) seperti GPIB, GMIM, GPM, GMIT, dll.
1. Identifikasi Ketegangan (The Tension)
- Model A (Sentralisasi - Sinode Am GPI): Menginginkan kesatuan sejarah yang kuat. GPI adalah "kapal induk". Semua GBM harus tunduk pada satu visi sejarah Indische Kerk.
- Masalah: Seringkali Sinode Am dianggap lambat, birokratis, dan hanya simbolis tanpa kekuatan eksekusi di jemaat lokal.
- Model B (Otonomi Penuh - Sinode GBM): GBM (misal: GMIM di Minahasa atau GPM di Maluku) memiliki sumber daya, jemaat, dan dana yang jauh lebih besar. Mereka ingin fokus pada konteks lokal mereka sendiri.
- Masalah: Terjadi "Silo Mentalitet" (jalan sendiri-sendiri). Potensi besar sebagai satu kesatuan raksasa GPI hilang. Duplikasi biaya terjadi di mana-mana (masing-masing bikin sekolah teologi, masing-masing bikin sistem pensiun).
2. Analisis Sintesis (Fortune 100 Approach)
Dalam perusahaan konglomerasi (seperti Unilever atau Astra), ini diselesaikan dengan model "Shared Services & Center of Excellence". Kita tidak mematikan otonomi anak perusahaan (GBM), tapi kita memusatkan hal-hal yang tidak efisien jika dikerjakan sendiri-sendiri.
3. Solusi Integrative Synthesis: "Synergetic Federalism" (Federalisme Sinergis)
Alih-alih berebut kekuasaan "siapa yang mengatur", Sinode Am GPI bertransformasi menjadi Penyedia Platform Strategis, sementara GBM menjadi Eksekutor Misioner.
Wujud Nyatanya:
- Sintesis 1: Dana Pensiun Terintegrasi (Financial Integration)
- Masalah: Jika setiap GBM mengelola dana pensiun sendiri, risiko aktuaria sangat tinggi (jika satu daerah kolaps ekonomi, pensiunan pendeta sengsara).
- Solusi ISF: Sinode Am GPI mengelola Satu Pintu Investasi Dana Pensiun (skala nasional = bargaining power ke bank/investasi lebih besar, biaya admin lebih murah).
- Peran GBM: Tetap menentukan gaji pendeta masing-masing, tapi pengelolaan aset masa depan diserahkan ke sistem pusat yang profesional.
- Sintesis 2: Pusat Data & Digitalisasi (Digital Shared Service)
- Masalah: GPIB bangun aplikasi jemaat, GMIT bangun aplikasi sendiri, GPM bangun sendiri. Biaya IT bengkak, data tidak standar.
- Solusi ISF: Sinode Am GPI menyediakan "Core System" (Sistem Inti) berbasis Open Source (seperti Odoo Enterprise untuk Gereja) yang disiapkan di Cloud.
- Keuntungan: Sinode GBM tidak perlu pusing memikirkan server atau coding, mereka tinggal pakai (SaaS - Software as a Service). Data jemaat GPI se-Indonesia terpetakan (Big Data), tapi pelayanan pastoral tetap sesuai budaya lokal GBM.
- Sintesis 3: Mobilitas Teolog (Human Capital Agility)
- Masalah: Ada daerah yang kelebihan pendeta (lulusan menumpuk), ada daerah pelosok yang kekurangan tenaga.
- Solusi ISF: Sinode Am membuat "Talent Marketplace". Seorang lulusan teologi dari Ambon (GPM) bisa melayani di daerah transmigran di Sumatera (melalui GPIB) dengan sistem mutasi yang diakui kedua belah pihak, difasilitasi oleh Sinode Am. Ini mengubah "persaingan" menjadi "kolaborasi".
Analisis "Fortune 100" pada Solusi Ini
Jika menggunakan kacamata konsultan McKinsey atau BCG, pendekatan di atas menggunakan tiga prinsip utama:
- Economies of Scale (Skala Ekonomi): Menggabungkan fungsi back-office (IT, Keuangan, Pensiun) di Sinode Am untuk mengurangi biaya per unit.
- Customer Intimacy (Kedekatan Pelanggan): Membiarkan Sinode GBM fokus 100% pada pelayanan pastoral kontekstual (budaya, bahasa, isu lokal) tanpa terbebani masalah administrasi makro.
- Network Effects (Efek Jejaring): Semakin banyak GBM yang bergabung dalam platform data Sinode Am, semakin cerdas sistem tersebut dalam memberikan rekomendasi strategis (misal: memetakan pola perpindahan jemaat antar pulau).
Kesimpulan
Metodologi Integrative Synthesis menolak anggapan bahwa Sinode Am GPI "mengambil jatah" otonomi GBM. Sebaliknya, metodologi ini menunjukkan bahwa Sinode Am harus hadir untuk memberdayakan GBM melalui sistem terpusat yang efisien, sehingga GBM bisa lebih lincah bergerak di lapangan.
Ini mengubah narasi dari "Siapa yang berkuasa?" menjadi "Bagaimana kita bisa lebih berdampak bersama?"